Sabtu, 17 Agustus 2013

Senadung Kasih Ayah

Selama ini penyakit segan singgah di badannya. Mungkin ayah jarang sakit karena darahnya pahit karena akibat selalu minum kopi kental. Iya, kopi yang sangat kental saban pagi diminum ayah dari gelas berkaca gemuk.

Ayah tidak berolahraga, tapi otot-otot badannya liat. Ayah juga pernah bercerita waktu muda dia suka olahraga gimnastik, bergelantungan pada palang-palang besi. Waktu aku masih kecil, aku dan adik-adiku sering meminta ayah membekokoan lengannya, supaya kami bisa melihat telur burung unta yang mencuat di lengan atasnya,lalu kami berebutan memencet telur besar itu,ayah ketawa saja melihat ulah kami.

Pada suatu waktu ayah mengajaku ke tempat yang memukau menurutnya. diberi ia nama“taman kodok” tak pernah bosan ia mengajakku kesana saat ia suntuk dengan pekerjaannya  di ajaknya aku bermenung di taman dengan mengendarai motor bebek-tuanya…

Dahulu juga sering aku terbangun saat mendengar sorak-sorai suara di televisi,
Kala itu dini hari aku banggun dan duduk di samping ayah sembari menoton pertandinggan sepakbola yang ayah gemari, tak ketinggalan di temani segelas kopi hitam dengan lisongnya .aku dan ayah khusyuk menonton pertandingan sepakbola.

Namun saat itu aku melihat ayah tergolek lemah tak berdaya, Ayahku yang aku ingat adalah lelaki bertubuh liat. yang aku lihat kala itu matanya redup dan tulang pipinya runcing karena darah dan daging yang telah luntur dari wajahnnya.Aku rengut selimut dan membunngkus badan kurusnnya,jantunggku berdebar tak tentu, tanganku ditarik dan dicenggkram di pergelangan tangan. Tiba-tiba napas ayah tercekat,kelopak matanya pelan – pelan terkatup dengan tangan bergetar aku mengusap-usap kening ayah yang sekarang penuh manik-manik peluh,Ujung tangan dan kakinya sudah seperti es.

Aku berbisik lirih mendekatkan kepala ke wajahnya,komat-kamit mengucapkan zikir.tetapi matanya semakin sayu layu, beberapa detik tak ada reaksi.Matanya bercahaya redup seperti senter kehabisan baterai.

Aku bertanya pada diriku, "Ya tuhan apakah ayah telah Pergi? Apakah ini kefanaan yang engau janjikan? Bahwa mati adalah kepastian paling pasti dalam hidup?" Aku Terpekur dengan perasaan berkecamuk,Tengkukku tersa dingin. Aku tidak mendengar langsung jawaban dari Tuhan, Tapi hatiku bisa merasakan jawabannya. dengan hati pilu hatiku berbisik, “Ayah Telah Pergi.”

Wajah Ayah tenang, tapi berawan. Tangan itu telah kelu dan semakin lama semakin dingin.Dingin yang perih.Aku belai muka ayahku dengan kedua tanganku. Lalu aku rapatkan kelopak matanya yang setengah terbuka dengan ujung telunjuk dan jempolku. Sambil memicingkin mata, aku genggam tangan beku ayah.aku coba ikhlas dan membisikan innalillahi wainna illaihi rajiun. Semua yang ada di dunia hanya punya dia, dititipkan sementara dan semuannya akan kembali kepada Dia. Aku merasa ayah pergi begitu cepat..

Aku bergejolak dan mendekat wajah ayah, berkelebat sampai di depan lubang tanah merah itu,ke dalam liang lahat mengenadah ke atas untuk menerima badan ayah yang putih dibalut kain kafan. Aku bias memeluk ayah terakhir kalinya sebelum aku baringkan di lubang lahat yang sempit, bau tanah merah,dah gerah.aku berjongkok dan mendekat ke wajah ayah, melantunkan lamat-lamat azan sendu. Titik peluh dan air mata bercampur gamang di wajahku dan meneteskan rasa asin ke mulutku.Aroma air mawar, kapur barus, dan tanah yang baru digali mengerubuti hidungku. Pelan-pelan tanah basah yang berbongkah aku luruhkan samapi menimbun sehelai benang kafan putih terakhir yang masih mencuat.

Awalnya pelan,hanya merembes disudut mata, lalu air hangat melimbak-limbak dari mana saja. Jatuh menetes ke nisan kayu. Tiba-tiba Pelbagai bentuk penysalan muncul di semua sudut hatiku. Banyak petuah dan permintaan ayah yang belum aku patuhi. Berkali-kalia aku melawan keiinginannya, berkali roman mukannya karena kata dan kelakuanku. Untuk itu semua aku belum sempat meminta semua maaf dari beliau langsung., bahkan belum pernah sekali pun aku ucapkan “aku saying ayah”. Kini semuanya terlambat aaku sadari. Tidak akan pernah kembali waktu yang berlalu.

Selamat jalan, Ayah. Sampai ketemu nanti di kehidupan setelah mati. Selamat jalan, Ayah. Semonga perjalannmu menyenagkan ke atas sana. Aku akan mendoakan Ayah dari sini. aku akan mencoba menjadi anak yang saleh yang terus mendoakanmu, supaya menjadi amalanmu yang tak pernah putus. Aku akan selalu mengingat selalu nasihat terakhir Ayah. yang jelas kita tidak bias menonton bola bersama lagi, kecuali di surga ada sepak bola.

Antara Menulis, Mengutip, dan Ketergantungan Terhadap Teori Orang Lain

Saat ini, saya sedang memaknai apa makna dari predikat indie-journalist yg di pungut dari pinggir jalan, dan kemudian saya sematkan ke diri saya sendiri.

Kadang-kadang saya senang berspekulasi. Termasuk dalam hal menulis, atau dalam membuat sebuah tulisan. Seringkali saya merasa bahwa mengutip teori bikinan orang lain itu tidak selalu mutlak diperlukan. Karena, tidak semua tulisan itu formatnya harus berbentuk karya ilmiah. Dan kalaupun konten dari tulisan tersebut ber-ilmu (Red : ilmiah), rasanya ga semua tulisan harus dibikin lebih kaku. Karena apa ya, hmm, yaa, karena komunikasi yg efektif itu adalah komunikasi yg santai

Tulisan itu kan proses komunikasi, sehingga jelas bahwa goal dan value-nya adalah pesan yg sampai di pihak pembaca. Jadi, sejenak atribut penulisan formal (yg emang cuman formalitas) bisa kita lepas dulu dalam menulis. Karena satu hal : ini bukan Tugas Akhir, dan satu yg terpenting : semangat berkarya masih jauh lebih mahal daripada kemampuan seseorang untuk menulis secara formal. Akan tetapi, jangan menulis dengan telanjang dan modal nekat juga. Tetep ada beberapa point penting yg tidak boleh ditinggalkan, yaitu sistematika penulisan (untuk memudahkan proses transfer pesan) dan fungsi dari judul tulisan itu sendiri, yaitu agar semesta pembahasan jadi terkunci, sehingga konten bisa tersaji dengan nikmat dan jelas.

Jika ada teori yg memang dianggap sahih, karena teori tersebut bikinan para ahli yg terpelajar dan diakui (secara birokrasi), buat saya pribadi itu justru menandakan bahwa setiap manusia bisa menggunakan segenap kreatifitasnya untuk membuat statement dengan kualitas yg sama. Tidak perlu jadi seorang doktor atau profesor, yg penting akurat dan terbukti secara aktual. Yang tentunya juga harus bisa dipertanggung jawabkan. Jika si ahli tersebut seorang profesor lulusan S3 dan memuat referensi dari sumber tertulis, sehingga diakui sebagai "grand theory" dan dijadikan kiblat oleh banyak pemikir dan kaum teknokrat, harusnya saya juga melihat sisi lainnya, bahwa buku-buku tersebut juga pada awalnya ditulis oleh manusia. Karena satu hal, ketika manusia menulis, maka tulisan tersebut adalah subjektif. Terbukti dari buku-buku sejarah dan politik yg pernah saya baca. Disana ada banyak tercium aroma subjektifitas. Dan satu lagi, zaman itu berubah-ubah, dinamis. Artinya, teori kuno cepat atau lambat akan digeser oleh teori yg lebih kontemporer. Yang akan selalu abadi, hanyalah firman Tuhan dalam Al-Qur'an.

Ketergantungan terhadap teori bikinan orang lain juga terbukti kurang merangsang ide orisinil kita dalam berkreasi lewat tulisan. Dan salah besar jika tujuan kita menggunakan teori bikinan orang lain itu hanya untuk bersembunyi dibalik nama orang lain. Ada saatnya gagasan asli bikinan kita harus keluar dan mengudara, bahkan kalau perlu terdengar ke seluruh penjuru dunia. Manusia punya hak dalam berpendapat, namun tidak lepas dari konsekuensi bahwa statement dia harus bisa dipertanggung jawabkan. Akan semakin menarik jika bidang yg saya cintai ini ternyata masih menyediakan sebuah kamar kosong untuk saya isi, untuk saya penuhi dengan kreatifitas saya pribadi, dan masih menyimpan banyak celah untuk menghindari tindakan plagiat konsep dari orang lain. Kebebasan yg sekaligus memiliki arti sebagai tanggung jawab.

Ya, kesenian akar dari segalanya. Tulisan itu disebut karya karena memiliki unsur seni. Sehingga sastra atau jurnalistik punya hak untuk ngambek kalau ruang kreasinya dipersempit dan dibikin kaku. Makanya ada statement : "seni pangkas sastra". Yang artinya, kesenian bisa melebarkan pakem-pakem yang sudah dianggap kaku. Terlebih lagi, kesenian dalam menulis saya anggap mampu untuk menyatukan segala jenis ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, penulis pop Raditya Dika yg saat ini terkenal dengan ciri khasnya sebagai pembawa gaya bahasa humoris, bisa dengan sangat mudah menyelipkan berbagai konteks ilmu pengetahuan dalam setiap tulisannya. Proses infiltrasi muatan ideologi yg tadinya harus melalui gaya bahasa rumit, bisa dikemas dalam bahasa yg mudah untuk dimengerti. Apalagi ketika si penulis bisa membawa suasana hati si pembaca, maka proses belajar yg tadinya bikin males, bisa mendadak berubah menjadi sebuah proses yg mengasyikkan.

Jadi saya hanya menekankan, keharusan menggunakan referensi berbentuk teori dari orang lain itu sebenarnya bersifat situasional. Menulis itu ibarat menggambar, melukis, atau bikin tanda tangan. Ga ada aturan kaku. Grammatical bahkan bisa "dikesampingkan" oleh previlege yg disebut "keistimewaan puitika".

 Akhir kata, saya juga ingin menegaskan satu fakta, jika musisi indie bisa bermusik tanpa teori dan lepas dari segala pakem ideal dalam bermusik (semua atasnama kreatifitas dan kualitas), maka kenapa hal yg sama tidak bisa berlaku di dunia menulis?

 "Sudut pandang yg digunakan manusia dalam menganalisa biasanya berupa 8 arah mata angin. Tapi, penulis punya arah mata angin ke-9, yaitu imajinasinya sendiri."

    "Kita tidak akan pernah mengetahui, apakah sang pelangi hanya membutuhkan 7 warna?? Seburuk-buruknya warna abu-abu, bukan tidak mungkin warna tersebut bisa menjadi warna ke-8 sang pelangi..."