Sabtu, 17 Agustus 2013

Antara Menulis, Mengutip, dan Ketergantungan Terhadap Teori Orang Lain

Saat ini, saya sedang memaknai apa makna dari predikat indie-journalist yg di pungut dari pinggir jalan, dan kemudian saya sematkan ke diri saya sendiri.

Kadang-kadang saya senang berspekulasi. Termasuk dalam hal menulis, atau dalam membuat sebuah tulisan. Seringkali saya merasa bahwa mengutip teori bikinan orang lain itu tidak selalu mutlak diperlukan. Karena, tidak semua tulisan itu formatnya harus berbentuk karya ilmiah. Dan kalaupun konten dari tulisan tersebut ber-ilmu (Red : ilmiah), rasanya ga semua tulisan harus dibikin lebih kaku. Karena apa ya, hmm, yaa, karena komunikasi yg efektif itu adalah komunikasi yg santai

Tulisan itu kan proses komunikasi, sehingga jelas bahwa goal dan value-nya adalah pesan yg sampai di pihak pembaca. Jadi, sejenak atribut penulisan formal (yg emang cuman formalitas) bisa kita lepas dulu dalam menulis. Karena satu hal : ini bukan Tugas Akhir, dan satu yg terpenting : semangat berkarya masih jauh lebih mahal daripada kemampuan seseorang untuk menulis secara formal. Akan tetapi, jangan menulis dengan telanjang dan modal nekat juga. Tetep ada beberapa point penting yg tidak boleh ditinggalkan, yaitu sistematika penulisan (untuk memudahkan proses transfer pesan) dan fungsi dari judul tulisan itu sendiri, yaitu agar semesta pembahasan jadi terkunci, sehingga konten bisa tersaji dengan nikmat dan jelas.

Jika ada teori yg memang dianggap sahih, karena teori tersebut bikinan para ahli yg terpelajar dan diakui (secara birokrasi), buat saya pribadi itu justru menandakan bahwa setiap manusia bisa menggunakan segenap kreatifitasnya untuk membuat statement dengan kualitas yg sama. Tidak perlu jadi seorang doktor atau profesor, yg penting akurat dan terbukti secara aktual. Yang tentunya juga harus bisa dipertanggung jawabkan. Jika si ahli tersebut seorang profesor lulusan S3 dan memuat referensi dari sumber tertulis, sehingga diakui sebagai "grand theory" dan dijadikan kiblat oleh banyak pemikir dan kaum teknokrat, harusnya saya juga melihat sisi lainnya, bahwa buku-buku tersebut juga pada awalnya ditulis oleh manusia. Karena satu hal, ketika manusia menulis, maka tulisan tersebut adalah subjektif. Terbukti dari buku-buku sejarah dan politik yg pernah saya baca. Disana ada banyak tercium aroma subjektifitas. Dan satu lagi, zaman itu berubah-ubah, dinamis. Artinya, teori kuno cepat atau lambat akan digeser oleh teori yg lebih kontemporer. Yang akan selalu abadi, hanyalah firman Tuhan dalam Al-Qur'an.

Ketergantungan terhadap teori bikinan orang lain juga terbukti kurang merangsang ide orisinil kita dalam berkreasi lewat tulisan. Dan salah besar jika tujuan kita menggunakan teori bikinan orang lain itu hanya untuk bersembunyi dibalik nama orang lain. Ada saatnya gagasan asli bikinan kita harus keluar dan mengudara, bahkan kalau perlu terdengar ke seluruh penjuru dunia. Manusia punya hak dalam berpendapat, namun tidak lepas dari konsekuensi bahwa statement dia harus bisa dipertanggung jawabkan. Akan semakin menarik jika bidang yg saya cintai ini ternyata masih menyediakan sebuah kamar kosong untuk saya isi, untuk saya penuhi dengan kreatifitas saya pribadi, dan masih menyimpan banyak celah untuk menghindari tindakan plagiat konsep dari orang lain. Kebebasan yg sekaligus memiliki arti sebagai tanggung jawab.

Ya, kesenian akar dari segalanya. Tulisan itu disebut karya karena memiliki unsur seni. Sehingga sastra atau jurnalistik punya hak untuk ngambek kalau ruang kreasinya dipersempit dan dibikin kaku. Makanya ada statement : "seni pangkas sastra". Yang artinya, kesenian bisa melebarkan pakem-pakem yang sudah dianggap kaku. Terlebih lagi, kesenian dalam menulis saya anggap mampu untuk menyatukan segala jenis ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, penulis pop Raditya Dika yg saat ini terkenal dengan ciri khasnya sebagai pembawa gaya bahasa humoris, bisa dengan sangat mudah menyelipkan berbagai konteks ilmu pengetahuan dalam setiap tulisannya. Proses infiltrasi muatan ideologi yg tadinya harus melalui gaya bahasa rumit, bisa dikemas dalam bahasa yg mudah untuk dimengerti. Apalagi ketika si penulis bisa membawa suasana hati si pembaca, maka proses belajar yg tadinya bikin males, bisa mendadak berubah menjadi sebuah proses yg mengasyikkan.

Jadi saya hanya menekankan, keharusan menggunakan referensi berbentuk teori dari orang lain itu sebenarnya bersifat situasional. Menulis itu ibarat menggambar, melukis, atau bikin tanda tangan. Ga ada aturan kaku. Grammatical bahkan bisa "dikesampingkan" oleh previlege yg disebut "keistimewaan puitika".

 Akhir kata, saya juga ingin menegaskan satu fakta, jika musisi indie bisa bermusik tanpa teori dan lepas dari segala pakem ideal dalam bermusik (semua atasnama kreatifitas dan kualitas), maka kenapa hal yg sama tidak bisa berlaku di dunia menulis?

 "Sudut pandang yg digunakan manusia dalam menganalisa biasanya berupa 8 arah mata angin. Tapi, penulis punya arah mata angin ke-9, yaitu imajinasinya sendiri."

    "Kita tidak akan pernah mengetahui, apakah sang pelangi hanya membutuhkan 7 warna?? Seburuk-buruknya warna abu-abu, bukan tidak mungkin warna tersebut bisa menjadi warna ke-8 sang pelangi..."

1 komentar:

  1. Selamat datang!

    Semoga arah mata angin yang kesembilan bisa membuatmu lebih yakin percaya diri! :)

    BalasHapus